JAKARTA, URBANFEED - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan krisis resistensi antimikroba (AMR) kian memburuk setelah laporan terbarunya menunjukkan satu dari enam infeksi bakteri di dunia kini kebal terhadap pengobatan standar. Peringatan ini disampaikan bersamaan dengan langkah Jerman yang mengumumkan pendanaan besar bagi riset dan vaksinasi global pada Konferensi World Health Summit di Berlin.
Dalam laporan yang dirilis WHO pada Minggu (12/10), resistensi antibiotik meningkat antara 5 hingga 15 persen per tahun, dengan laju tertinggi di kawasan Asia Tenggara dan Timur Tengah. Kasus resistensi paling sering ditemukan pada infeksi saluran kemih dan infeksi aliran darah, dua jenis penyakit yang selama ini dianggap mudah diobati. WHO menegaskan, fenomena ini menjadi ancaman kesehatan global serius yang bisa memicu era “pasca-antibiotik”.
“Masalah resistensi antimikroba berkembang lebih cepat dari kemampuan kita menemukan obat baru. Jika tidak ada intervensi besar, infeksi umum akan kembali mematikan,” ujar Direktur Jenderal WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam pernyataan resminya di Jenewa, dikutip dari Financial Times (12/10/2025).
Laporan tersebut juga menyoroti bahwa stagnasi penelitian antibiotik baru selama dua dekade terakhir memperburuk keadaan. WHO mencatat hanya segelintir kandidat antibiotik yang saat ini dalam tahap uji klinis, sementara sebagian besar farmasi besar mengalihkan fokus riset ke bidang onkologi dan vaksin.
Di sisi lain, Jerman mengumumkan komitmen dana sebesar EUR 100 juta (sekitar Rp1,7 triliun) untuk mendukung riset dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi melalui lembaga internasional Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI). Dukungan itu disampaikan langsung oleh Menteri Riset dan Pendidikan Jerman Dorothee Bär dalam pembukaan World Health Summit di Berlin pada hari yang sama.
“Kita harus menahan penyebaran penyakit menular dan pandemi di seluruh dunia. CEPI menjadi lebih penting dari sebelumnya, dan Jerman memperkuat komitmennya terhadap perlindungan kesehatan global dan keamanan manusia di seluruh dunia,” kata Bär, dikutip dari pernyataan resmi Kementerian Riset Jerman.
Selain dukungan untuk CEPI, pemerintah Jerman juga berjanji menambah kontribusi hingga €1 miliar untuk Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria dalam putaran penggalangan dana kedelapan. Dana ini akan digunakan untuk memperkuat sistem kesehatan di negara-negara berpenghasilan rendah serta memperluas akses pencegahan penyakit menular seperti HIV, TBC, dan malaria.
Pakar kesehatan dari WHO menilai langkah Jerman tersebut sebagai sinyal positif di tengah ancaman global resistensi obat. “Resistensi antibiotik tidak bisa diatasi oleh satu negara saja. Dukungan pembiayaan global seperti ini sangat penting untuk mempercepat riset vaksin dan terapi baru,” ujar Dr. Hanan Balkhy, Asisten Direktur Jenderal WHO bidang AMR.
WHO meminta negara-negara anggota mempercepat investasi pada sistem surveilans resistensi, mengembangkan diagnostik cepat, serta memperketat kebijakan penggunaan antibiotik di rumah sakit dan peternakan. Jika tidak, WHO memperkirakan resistensi obat dapat menyebabkan 10 juta kematian per tahun pada 2050 dan menimbulkan kerugian ekonomi global lebih dari USD 100 triliun.
Langkah Jerman pada 12 Oktober ini dipandang sebagai momentum penting untuk mengintegrasikan riset vaksin, pengendalian infeksi, dan kebijakan penggunaan antibiotik di tingkat global. WHO berharap komitmen serupa diikuti negara-negara G20 pada pertemuan kesehatan dunia berikutnya akhir tahun ini.(MIN)




.jpg)






Komentar (0)
Tinggalkan Komentar